PERILAKU KEPEMIMPINAN

cg26cA. KONSEP PERILAKU KEPEMIMPINAN
Pemimpin dalam melaksanakan tugas sehari-hari harus didasari oleh orientasi kepemimpinan yang mewarnai perilaku yang diterapkannya. Salah satu tinjauan tentang prilaku kepemimpinan yang diterapkan adalah prilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan prilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia (Gordon, 1990; Greenberg dan Baron, 1995; Kreitner dan kinicki, 1992; Owens, 1991; Yulk, 1989; Hoy dan Miskel, 1987). Orientasi kepemimpinan tersebut dapat disebut dimensi kepemimpinan (laedership dimension).
Perilaku yang berorientasi pada tugas yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin, yang mengarah pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, adanya saluran organisasi, saluran komunikasi, metode kerja dan prosedur pencapaian tujuan yang jelas.
Perilaku yang berorientasi pada hubungan antar manusia yaitu kepemimpinan yang lebih manaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh kehangatan hubungan antara pemimpin dengan stafnya (Herbert, 1981; Bernard, 1988; Etzioni, 1964; Cartwright dan zender, 1953; Hoy dan Miskel, 1982)
Pemimpin mempengaruhi performansi kelompok dengan alat verbal atau gestural yang dikomunikasikan melalui pengarahan, evaluasi, dan sikap pemimpin terhadap anggota kelompok (Owens, 1991).
Intinya, gaya kepemimpinan merupakan karakteristik kepribadian, bukan perilaku. Perilaku kepemimpinan dari individu yang sama akan berbeda dari situasi ke situasi, semantara struktur kebutuhan yang mendorong perilaku itu bisa konstan (Fiedler dalam Hoy dan Miskel, 1987).

B. KOMPONEN-KOMPONEN PERILAKU KEPEMIMPINAN
Dalam mengidentifikasi perilaku kepemimpinan, Fiedler mengembangkan pengukuran kepribadian yang disebut skala Least Preferred Co-Worker (LPC). LPC mengukur apakah seorang pemimpin memiliki perilaku yang berorientasi pada tugas (task-oriented style) atau berorientasi pada hubungan antar manusia (relationship-oriented style) (Hoy dan Miskel, 1987; Gordon, 1990; Owens, 1991).
Seseorang yang skornya tinggi pada LPC menggambarkan yang positif (Hoy dan Miskel, 1987; Gordon, 1990). Berarti orang tersebut tampak menyenangkan, bersahabat, efisien, periang dan semacamnya. Sedangkan yang memiliki nilai LPC rendah menggambarkan yang negatif, berarti memiliki sifat kurang menyenangkan, kurang bersahabat, kurang efisien, murung dan semacamnya.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas mempunyai skor rendah pada LPC dan dimotivasi oleh pemenuhan tugas yang berhasil. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan antar manusia mempunyai skor tinggi pada LPC dan menerima kepuasan dari interaksi antar pribadi yang berhasil (Rice dan Seaman, 1981; Hoy dan Miskel, 1987). Ciri-ciri karakteristik perilaku kepemimpinan itu menggambarkan perangai (menyenangkan, periang, rileks, menarik), semangat (bersemangat, hangat), keterbukaan (menerima, terbuka), kesejawatan (bersahabat, dekat), dipercaya (percaya diri, membantu, mendukung), dan kerjasama (kerjasama, harmonis, efisien).

C. HUBUNGAN PERILAKU KEPEMIMPINAN, BUDAYA ORGANISASI, DAN KEEFEKTIFAN ORGANISASI
Ditinjau dari favorabilitas situasi, Fieder (dalam Hoy dan Miskel, 1987) menemukan hasil penelitian bahwa pemimpin yang menghadapi situasi yang rata-rata favorabel ada kecenderungan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antara manusia berhubungan dengan keefektifan organisasi. Temuan dari Drenth (dalam Bass, 1990) memaparkan bahwa organisasi lebih efektif jika dipimpin oleh pemimpin yang menggunakan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia daripada yang dipimpin dengan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas.
Penelitian Roberts tahun 1986 (dalam Bass, 1990) pada perguruan tinggi swasta lebih besar menggunakan kepemimpinan yang transaksional daripada kepemimpinan yang transformasional. Hal ini menunjukkan bahwa di perguruan tinggi swasta lebih besar digunakan orientasi kepemimpinan pada hubungan antar manusia daripada orientasi kepemimpinan pada tugas sebagaimana banyak diterapkan di perguruan tinggi negeri. Penelitian Bossen dkk., (dalam Creemers dan Reynolds, 1991) kepemimpinan yang kuat hubungan kesejawatannya berkolerasi dengan keefektifan organisasi. Dengan demikian perilaku kepemimpinan mempengaruhi keefektifan organisasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa peranan kepemimpinan bertransformasi dengan realitas organisasi dan membentuk kultur organisasi. Berdasarkan beberapa pandangan ahli dan hasil-hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku kepemimpinan mempengaruhi budaya organisasi dan keefektifan organisasi.

D. KARAKTERISTIK BAWAHAN
1. Konsep Karakteristik Bawahan
Karakteristik bawahan adalah ciri-ciri kematangan, kemampuan, kebutuhan, pengalaman, dan kepuasan yang dimiliki oleh pegawai di suatu organisasi, khususnya organisasi pendidikan. Karakteristik bawahan sangat menentukan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan oleh pimpinan pendidikan. Misalnya saja bawahan dengan kemampuan kerja tinggi lebih cocok diterapkan gaya kepemimpinan suportif, sementara bawahan yang mempunyai kemampuan rendah memerlukan bantuan, bimbingan, dan pengarahan dalam melaksanakan tugas sehari-hari, sehingga cocok diterapkan gaya kepemimpinan direktif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik bawahan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin.

2. Komponen-Komponen Karakteristik Bawahan
a. Menurut Greenberg (1995), komponen karakteristik bawahan meliputi: kemampuan bawahan dan kepuasan atas perilaku pemimpin yang diwujudkan dalam kesiapan menerima tanggung jawab, keterampilan kerja, pengetahuan tentang kerja, dan semangat kerja tanpa adanya arahan pemimpin.
b. Menurut Gordon (1991), komponen karakteristik bawahan meliputi: terampil dalam melaksanakan tugas, kebutuhan akan prestasi, dan kebutuhan sosial.
c. Menurut White dan Bednar (1991), komponen karakteristik bawahan meliputi: lokus kontrol, kekuasaan bawahan, persepsi kemampuan, dan kebutuhan (prestasi, independensi, keamanan, dan afiliasi).
Berdasarkan paparan di atas, karakteristik bawahan mencakup aspek-aspek kematangan, lokus kontrol, kemampuan melaksanakan tugas, kebutuhan berprestasi, pengalaman, kebutuhan untuk kejelasan, kepuasan, semangat kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, kebutuhan sosial, dan kesiapan menerima tanggung jawab.

3. Hubungan antara Karakteristik Bawahan dan Gaya Kepemimpinan
Hasil penelitian Mathieu (dalam Kreitner dan Kinicki,1992) menemukan bahwa bawahan dengan kebutuhan berprestasi rendah lebih suka kepemimpinan direktif (yang berorientasi pada tugas), sementara bawahan dengan kebutuhan berprestasi tinggi menginginkan kepemimpinan suportif. Dalam kaitannya dengan kebutuhan bawahan terhadap kejelasan, bawahan yang memiliki kebutuhan terhadap kejelasan tinggi lebih terpuaskan dengan kepemimpinan direktif, sementara bawahan dengan kebutuhan terhadap kejelasan rendah terpuaskan oleh kepemimpinan yang suportif.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa jika pegawai dalam menjalankan tugas tidak jelas, kepemimpinan direktif tinggi meningkatkan kepuasan dan motivasi, sementara jika tugas jelas, kepemimpinan direktif atau orientasi tugas mengurangi kepuasan dan motivasi. Dalam kaitannya dengan kebutuhan sosial, semakin tinggi kebutuhan sosial bawahan, semakin efektif diterapkan gaya kepemimpinan suportif dan partisipatif.
Sementara itu, lokus kontrol eksternal memiliki hubungan dengan kepemimpinan direktif, yang berorientasi pada tugas dan lokus kontrol internal memiliki hubungan dengan kepemimpinan partisipatif, yang berorientasi pada hubungan antar manusia. Kebutuhan bawahan tentang bimbingan dan pengarahan berhubungan dengan keefektifan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, sementara kebutuhan support emosional berhubungan dengan keefektifan kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia.
Berdasarkan penelitian Hersey dan Blanchard, semakin tinggi tingkat kesiapan bawahan, semakin cenderung pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan kemanusiaan, sementara semakin rendah tingkat kesiapan bawahan, pemimpin semakin cenderung menerapkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik bawahan berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan. Secara lebih rinci dapat disimpulkan jika bawahan semakin matang, lokus kontrol diri, terampil, berprestasi, berpengalaman, bersemangat, kebutuhan tinggi, maka kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia yang relevan diterapkan. Sebaliknya jika ciri-ciri yang disebutkan tersebut rendah, maka gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas relevan diterapkan.

E. KONTROL SITUASI
1. Konsep Kontrol Situasi
Kontrol situasi mengacu pada keadaan lingkungan organisasi yang menentukan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin di suatu lembaga pendidikan. Kontrol situasi merentang dari tinggi ke rendah. Kontrol situasi tinggi ditandai oleh hubungan anggota yang positif, begitupula sebaliknya. Kontrol situasi terdiri dari 3 aspek:
a. hubungan pemimpin-bawahan (leader-member relations),
b. struktur tugas (task structure), dan
c. kekuasaan karena posisi (position power) (Gordon, 1990; Kreitner dan Kinicki,
1992; Greenberg, 1995; Hoy dan Miskel, 1987; Vecchio, 1988).
Jika hubungan pemimpin bawahan baik, maka pemimpin akan lebih mudah
menanamkan pengaruh dan kekuasaan daripada jika hubungan tersebut tidak
baik (Owens, 1991). Situasi hubungan baik atau tidak baik ini mempengaruhi
pemimpin dalam menentukan gaya kepemimpinan yang relevan dengan situasi
itu.
Struktur tugas ini menentukan gaya kepemimpinan seseorang. Jika dalam suatu organisasi berada dalam situasi di mana tugas-tugas telah dirumuskan secara rinci dan jelas, maka gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas yang diterapkan oleh seorang pemimpin. Sebaliknya, jika tugas-tugas bawahan kurang terstruktur, maka gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia tepat diterapkan.
Kekuasaan karena posisi mengacu pada derajat dengan mana pemimpin mempunyai kekuatan formal dan aktual untuk mempengaruhi orang lain (bawahan) dalam menjalankan tugas sehari-hari.
Secara konseptual, semakin besar pemimpin menggunakan kekuasaan karena posisi yang diembannya, maka gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas diterapkan. Sementara semakin kecil pemimpin menggunakan kekuasaan karena posisi yang diembannya, semakin besar pemimpin menerapkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia.

2. Komponen-Komponen Kontrol Situasi
Kreitner dan Kinicki (1992) mengemukakan komponen-komponen itu mencakup seberapa luas pemimpin memiliki support, loyalitas, dan kepercayaan bawahan. Komponen kedua, kontrol situasi adalah struktur tugas. Struktur tugas mencakup adanya tata aturan, deskripsi pekerjaan dan kebijakan (Vecchio, 1988), petunjuk mengerjakan tugas, dan kontrol pelaksanaan tugas.
Komponen ketiga kontrol situasi adalah kekuasaan karena posisi (position power). Komponen ini meliputi aspek kewenangan pemimpin untuk memberi ganjaran, hukuman, dan lainnya kepada bawahan (Kreitner dan Kinicki, 1992).
3. Hubungan antara Kontrol Situasi dan Gaya Kepemimpinan
Ketiga komponen situasional itu (hubungan pemimpin-bawahan, struktur tugas, dan posisi kekuasaan) menentukan gaya kepemimpinan yang efektif (Gordon, 1991). Jika situasi sangat terkontrol, kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (ditunjukkan oleh nilai LPC yang rendah) akan efektif (Gordon, 1990). Dalam situasi kontrol sedang (moderat), kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia (ditunjukkan oleh nilai LPC yang tinggi) akan efektif (Kreitner dan Kinicki, 1992). Jika situasi rendah kontrol, maka kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (ditunjukkan oleh nilai LPC yang rendah) akan efektif. Dapat disimpulkan bahwa terkontrolnya situasi mempunyai hubungan dengan keefektifan kepemimpinan.
Ditinjau dari hubungan pemimpin-bawahan, semakin baik hubungan pemimpin-bawahan semakin memerlukan kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan antar manusia, begitu pula sebaliknya. Ditinjau dari struktur rugas, semakin terstruktur tugas bawahan, semakin gaya kepemimpinan cenderung berorientasi pada tugas, begitu pula sebaliknya. Ditinjau dari kekuatan posisi, semakin banyak pemimpin menggunakan kekuasaanya melalui posisi yang dimiliki, maka gaya kepemimpinan cenderung berorientasi pada tugas. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrol situasi yang terdiri atas hubungan pemimpin-bawahan, struktur tugas, dan kekuasaan karena posisi mempengaruhi gaya kepemimpinan.

Sumber:

Soetopo, H. 2010. Kepemimpinan Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan

2 comments on “PERILAKU KEPEMIMPINAN

Tinggalkan komentar